Cerpen Luthfi Bagas Pambudi
Ku rasakan detak jantungku berdetak tak menentu. Terkadang seirama dengan detakan jam, terkadang pula sekencang bunyi gendrang yang di pukul secara membahana. Bahkan dada ini terasa sakit bila jantungku berdetak seperti itu. Di tambah, deru nafasku yang sesak dan mulai bernyanyi dengan nyaring. Hal ini biasa terjadi padaku dalam waktu yang tiba – tiba, bahkan tak terduga.
Tubuhku pun mulai terasa lemas ketika aku harus berlari mengitari lapangan sekolah karena mata pelajaranku kali ini adalah Penjaskes. Tubuhku pun betambah lemas lagi ketika otakku terasa berdetak nyeri di dalam kepala ini karena sakit ku kambuh secara tak terduga, dan terik matahari yang mulai menyengat kulit di siang hari.
Seorang kakak kelas berbaju putih abu – abu yang ku suka pun tampak mendekat, mencoba menangkap tubuh yang lemas ini. Nafasnya yang hangat menerpa wajahku. Aroma tubuhnya yang maskulin menjadi obat penidur untukku, di dalam dekapannya kini.
Beberapa saat berlalu, mimpi gelapku terusik oleh langkah – langkah kaki yang gaduh di sekitarku. Perlahan mulai kubuka kedua mata yang terasa berat ini. Dan hal pertama yang ku lihat , meski dalam keadaan pusing dan kabur adalah langit – langit gedung yang bergerak cepat di atasku, seirama dengan tubuhku yang dibawa di atas ranjang Rumah Sakit oleh orang – orang yang ku kenali sebagai sahaba – sahabatku, dan beberapa orang perawat cantik yang membawa infus sembari berlari, mencoba menyamai kecepatan langkahnya denganku di atas ranjang berjalan ini.
Tubuhku pun di bawa ke dalam sebuah ruangan oleh para perawat itu, sementara sahabat – sahabatku di tahan di luar ruangan oleh 2 perawat lainnya yang menunggu di luar ruangan. Di dalam ruangan, hidung dan mulutku di tutupi oleh sebuah alat bantu pernafasan yang lumayan membantuku. Infus kembali di pasang di tanganku, dan membuatku jadi panik dan gelisah sendiri.
Seorang pria setengah baya masuk ke dalam ruangan dengan mengenakan jas putih dan beberapa perlengkapan dokternya yang di jadikan satu di dalam sebuah tas hitam yang ia bawa. Aku langsung memejamkan mata ketika Sang Dokter mengangguk, memberikan instruksi kepada dua perawat wanita yang kini berada di kanan – kiriku.
Selama memejamkan mata, sempat terbayang wajah – wajah orang yang ku sayang. Wajah tante yang menjadi wakilku, wajah sahabat – sahabatku, dan tentu saja, wajah orang yang aku cintai, Kak Dika.
Namun, ketika seseorang memasukkan ujung tajam dari jarum suntik ke kulitku, wajah – wajah itu segenap berubah menjadi keharuan hingga ku sadari beberapa tetes air mataku jatuh dan membasahi pipiku. Wajah – wajah itu berubah sedih dan penuh keharuan. Bahkan, sempat terlintas kenangan – kenangan pahitku. Terutama, kenangan pahitku tentang kak Dika yang sampai saat ini tak mengetahui bahwa aku sangat menyayanginya. Tapi, sayang, ku tahu ia telah dimiliki wanita cantik yang kutahu adalah kekasihnya.
Jarum suntik pun di keluarkan, dan mata serta detak jantung yang menyakitkan dalam setiap detakanannya ini pun perlahan menjadi pusat pemeriksaan oleh Sang Dokter dan beberapa perawatnya. Sebuah alat pendeteksi jantung yang berada di sebelahku pun berbunyi aneh, tak seperti bunyi pada jantung orang yang normal.
Sempat ku lihat sang Dokter menggelengkan kepala kepada tatapan sedih para perawat, yang masih berdiri di sisiku itu. Aku pun kembali menutup mata dan mencoba untuk melihat wajah malaikat yang akan menyabut nyawaku, karena penyakit leukimia yang ku alami ini sudah benar – benar tak bisa di sembuhkan lagi. Padahal, seudah banyak usaha yang ku lakukan bersama tante dan sahabat – sahabatku untuk mencari obat penyembuh dari penyakit ini. Tapi ternyata, Tuahn lebih memilih untuk menjemputku di waktu yang tepat ini. Dimana, masih ada orang – orang yang ku sayangi, dan yang menyayangiku. Dan, masih ada dunia yang harus ku jelajahi ini.
Dan, suara pintu yang terbuka dengan
keras di ruangan itu pun mengagetkanku hingga membuat mataku yang semula
terpejam, malah terbuka hingga sesaat ku lupakan pikiran – pikiran ku tadi.
Seorang wanita cantik bagai malaikat masuk dan langsung berlari memelukku
sangat erat. Hingga tak mungkin bisa terlepaskan. Wanita itu menangis di dalam
dekapan sayangnya padaku. Ya, ialah tanteku. Orang yang paling ku sayang di
dunia ini, karena aku hanya sebatang kara tanpa dirinya.
Bisa ku rasakan suasana haru yang pecah di ruangan ini. Satu persatu sahabat ku masuk dengan mata yang basah dan lebam oleh air mata yang mereka keluarkan. Semua langsung mendekatiku dan memelukku secara bergantian dengan sangat erat, layaknya aku akan segera pergi meninggalkan mereka. Yang memang benar adanya.
Ku rasakan jantungku mulai melemah, seirama dengan nada yang dikeluarkan oleh alat pendeteksi jantung yang berada di sampingku. Tapi, seseorang datang terlambat dan menghampiriku, hingga membuat jantungku berdetak normal karena keberadaannya. Senyum manisnya melemaskan otot – ototku yang sebenarnya akan tak berfungsi lagi.
Semua yang melihat keadaanku langsung mengerti dan meninggalkan ku berdua saja dengannya, di dalam ruangan yang berbau obat, dan ruangan yang di penuhi dengan nada – nada yang di keluarkan oleh alat pendeteksi jantung, dan tentu saja deru nafasku yang bergetar olehnya. “Hey. . .!” itulah kata pertama yang keluar dari bibir manisnya, yang langsung memecah kesunyian di antara kami. Wajahnya yang rupawan dengan lesung pipit dan model rambut yang maskulin itu tampak seperti wajah malaikat bagiku, bagi hatiku. “Hmmm. . .” kakinya bergerak salah tingkah, tapi itu tak mengurangi semua keindahan yang ada pada dirinya.
“Sebenarnya, ada banyak hal yang ingin ku bicarakan padamu.” Tubuh ku yang semula lemas, kini terasa terlonjak ketika tangan lembut dan kekarnya menggenggam tanganku dengan penuh kasih. “Sebenarnya, aku dan Viola hanya sekedar teman. Dan, tak ada hubungan apa pun yang melebihi itu.” Ia diam sesaat, seraya menatap lekat mataku. “Sebenarnya, memang benar kalau dia pernah menembakku. Itu pun 2 minggu yang lalu.”
Air mataku langsung menetes deras, Jntungku berdetak kencang dengan membahana, ketika ia berkata seperti itu. Tapi, aku tetap menunggu perkataannya yang selanjutnya.
“Tapi aku menolaknya dan memberikan hatiku pada seseorang. . . “ perkataannya terhenti ketika dari dalam tas, ia mengeluarkan sebuah album foto mini, dan ia tunjukan beberapa foto yang membuatku terkejut bagai tersengat listrik. “Seseorang yang mengumpulkan foto – foto ini untukku.” Mulutku tergagap ketika ia berkata seperti itu. Dalam hati aku bertanya – tanya, dari mana ia mendapatkan kumpulan foto – fotonya yang selama ini ku dapatkan dan ku kumpulkan?
“Aku mendapatkannya dari sahabat – sahabatmu.” Katanya pelan, seperti membaca pikiranku. “Mereka memberikanku semuanya. Bahkan bukan ini saja yang ku tahu. Semua surat dan cokelat yang tak berketerangan pengirimnya pun aku tahu dari siapa. Kamu, Susan. Tapi, kenapa kamu gak beritahu aku saja yang sebenarnya? Apa kau tak tahu kalau aku. . . . “ aku benci dengan jeda yang ia selipkan di antara kata – katanya. “Aku juga sayang sama kamu. Aku sebenarnya ingin menembakmu sudah lama. Tapi aku tak pernah menemukan waktu yang tepat.”
Senyumnya membuat bibirku juga melengkung senang dan puas dengan hasil kerja keras ku yang selama ini tak sia – sia. Terlebih, ketika ia memeluk tubuh lemahku ini, beberapa memori dalam benakku yang mengingatkan ku tentang usaha bersama sahabat – sahabatku untuk mencari perhatian Kak Diki padaku.
“Jadi, dengan ini, aku harap kamu
bisa berjuang dalam melawan penyakitmu ini. Karena aku akan ada terus di
sampingmu sebagai. . . . Sebagai seorang kekasih.”
Air mataku kembali menetes, bahkan lebih deras lagi. Ini semua bagai pelangi di awal kelabu. Dimana, Cinta Kak Dika datang padaku, tepat ketika ajal mulai menjemputku. Tapi, secara tiba – tiba, di suasana yang haru itu, jantungku pun terasa berdetak menyakitkan di dalam dada ini, dalam frekuensi detakannya yang pelan. Sempat ku lihat cahaya keperakan di balik tubuh Kak Dika, serta sekelebat bayangan berwarna hitam pekat di sekitarku
Dan, kata terakhirku yang
menuntaskan semuanya pun dapat keluar dari mulut yang semula bisu ini. “Kak. .
. Aku sayang kakak. Aku nggak ingin pergi meninggalkan kakak. Aku butuh kakak
di sampingku. . . . Tapi, Susan mohon maaf. . . Karena ia telah menjemputku.
Lihatlah cahaya keperakan itu, kak. Itulah pintu yang akan ku lalui. Selamat
tinggal, Kak. Salam untuk tante dan sahabat – sahabatku.”
“Susan! Kamu harus kuat! Kamu harus
bertahan! Aku nggak ingin kamu pergi! Susan! Tolong, bukalah matamu!!” suara
Kak Dika yang histeris menjadi obat penidur ku untuk selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar